Gunung di Indonesia dan Puncak Tertinggi Dunia
JAWA: -*-Anjasmara (2.277 mdpl)-*- Argapura (3.088 mdpl)-*- Arjuno (3.339 mdpl) -*- Bromo (2.392 mdpl)-*- Bukit Tunggul (2.208 mdpl) -*- Ciremei (3.078 mdpl)-*- Cikuray (2.818 mdpl)-*- Galunggung (2.167 mdpl)-*- Gede (2.958 mdpl)-*- Guntur (2.249 mdpl)-*- Kembar I (3.052 mdpl)-*- Kembar II (3.126 mdpl)-*- Lawu (3.245 mdpl)-*- Semeru (3.676 mdpl)-*- Malabar (2.343 mdpl)-*- Masigit (2.078 mdpl) -*- Merapi (2.911 mdpl)-*- Merbabu (3.145 mdpl)-*- Pangrango (3.019 mdpl)-*- Papandayan (2.665 m)-*- Patuha (2.386 mdpl)-*- Penanggungan (1.653 mdpl)-*- Raung (3.332 mdpl), Salak (2.211 mdpl), Slamet (3.432 mdpl), Sumbing (3.336 mdpl)-*- Sundara (3.150 mdpl)-*- Tangkuban Perahu (2.084 mdpl)-*- Ungaran (2,050 mdpl)-*- Wayang (2.181 mdpl)-*- Welirang (3.156 mdpl)-*- Wilis (2.552 mdpl). SUMATRA:-*-Dempo (3159 mdpl)-*-Kerinci (3.805 mdpl)-*-Sibayak (2.212 mdpl)-*-Pesagi (2.262 mdpl)-*- Singgalang (2.877 mdpl)-*-Marapi (2,891.3 mdpl)-*-Tandikat (2438mdpl)-*-Leuser (3172 mdpl)-*- Perkison (2300 mdpl)-*- BALI: -*-Agung (3.142 mdpl), -*-NTB:-*-Rinjani (3.726 mdpl), NTT: Tambora (2.850 mdpl)-*- 14 PUNCAK GUNUNG TERTINGGI DUNIA: -*-Everest (8.848 mdpl)-*- K2 (8.611m)-*- Kangchenjunga (8.586) -*- Lhotse (8.516 mdpl)-*- Makalu (8.463 mdpl) -*- Dhaulagiri (8.167 mdpl) -*- Manaslu (8.091) -*- Cho Oyu (8.201 mdpl) -*- Nanga Parbat (8.125 mdpl) -*- Annapurna -*- (8.091 mdpl) -*- Gasherbrum I (8.068 mdpl) -*- BRoad Peak (8.047 mdpl) -*- Shisha Pangma (8.046 mdpl) -*- Gasherbrum II mdpl)-*-

Budhy Papeo's Facebook profile

Saturday


We reached Mt.Rinjani's peak after 4hours summit attack at monday morning. It was gorgeous! Previously we had 10 hours trekking from Sembalun Lawang to the camp just below the mountain. Monday afternoon, after 2hours rest we move on to the camp by Segara Anak lake. We had a good rest and managed to gain our strength for another day's trekking. On Tuesday at 6am we set off to Plawangan a favorite place for viewing the crater rim. At about mid day we reached Plawangan and had our last lunch at post III. An hour rest then we set off into the last stage of trekking, about 8km to Senaru which took 4hours with gentle slope. Finnaly we arrived Senaru at 3:30pm. This was the best trekking I've ever done. Only 3D/2N for about 26km plus the summit was very rewarding.

My experiment with GPS did not seem succesful. We had problem with battery supply, e-Trex couldn't pick any signal on the last stage due forest density. We had arranged taxi to pick us up at Senaru and take us to Mangsit -5km outside Senggigi where we found a place to stay. I am now sitting in backyard of Nusa Bunga with direct view to the beach. Today we are going to Gili Trawangan from Bangsal Harbour. Oh yeah with aching legs off course !

Friday











Sejarah dari "The Seven Summits Quest"

William D. Hackett Orang pertama yang mencapai 5 dari tujuh puncak

William D. Hackett, seorang tentara dari Oregon, USA, berhasil mencapai puncak dari Mont Blanc, perancis. Dengan ini, dia menjadi orang yang pertama berhasil mencapai puncak dari lima benua. Pada masa itu, Mont Blanc dianggap sebagai gunung yang tertinggi di benua Eropah. Dimasa sekarang, yang dianggap puncak tertinggi dari benua Eropah adalah gunung Elbrus di Georgia. Tapi ini tidak membuat usaha Hacket tidak dikenang. Puncak-puncak gunung lain yang dicapainya adalah:

1947 : McKinley
1949 : Aconcagua

1950 : Kilimanjaro
1956 : Kosciuszko
1956 : Mont Blanc

Setelah berhasil mencapai puncak Mont Blanc, dia berambisi untuk mendaki puncak lainnya. Dia merencanakan untuk mencoba mencapai puncak K2 dan Vinson Massif dan juga berhasil mendapat ijin untuk pendakian Everest. Akan tetapi karena beberapa hal (kekurangan dana, frostbite, dsb) dia tidak pernah berhasil mendaki lebih dari ke 5 puncak diatas.

Diantara tahun 1956 dan 1970, tidak ada tonggak sejarah yang berhasil tercapai. Walaupun, Dolf Reist, seorang pendaki dari Swiss, mencapai puncak Mont Blanc pada tahun 1955 dan puncak Everest tahun 1956 (hanya satu dari enam orang yang berhasil mendaki Everest pada masa itu). Dia pikir bahwa ia mempunyai banyak waktu untuk mendaki puncak yang lain dan oleh karena itu tidak membuat usaha mendesak apapun untuk memanjat 3 puncak lainnya. Dia melengkapi mendaki 3 puncak lainnya ada tahun 1971, enam bulan setelah Naomi Uemura, seorang pendaki asal Jepang yang akan kita bahas selanjutnya.

1970 – Naomi Uemura
Orang pertama yang berhasil mencapai 5 puncak dari tujuh puncak temasuk Everest

Naomi Uemmemulai pendakian sebagai pendaki solo dan mencapai puncak Mont Blanc secara sendirian, Kilimanjaro dan Aconcagua. Pada tahun 1970, dia menghentikan kebiasaan mendaki sendirian dan mendaki Everest bersama dengan teman senegaranya yaitu Teruo Matsuura. Bersama mereka mengklaim dirinya sebagai orang jepang pertama yang mendaki Everest dengan jalur pendakian mereka rintisan mereka di South Col. Hanya tiga bulan setelah itu, Uemura kembali mendaki secara solo dan berhasil mencapai puncak McKinley, sebagai orang yang pertama mendakinya secara solo. Dengan ini dia merupakan orang pertama yang berhasil mendaki 5 dari tujuh puncak termasuk Everest, akan tetapi tidak sama sekali selesai.

1966 : Mont Blanc
1966 : Kilimanjaro
1968 : Aconcagua
1970 : Everest

1970 : McKinley

Seperti halnya yang diharapkan oleh seorang petualang soliter sejati, dia kembali merencakan untuk pergi ke Antartika sendirian untuk mendaki Vinson Massif setelah melakukan perjalanan solo ke kutub utara. Untuk persiapan itu dia melakuakn pendakian solo dimusim dingin ke gunung McKinley. Dia berhasil melakukannya, namun saat perjalanan turun, dia menghilang ditelan oleh badai di gunung itu.

1978 – Reinhold Messner
Orang pertama yang berhasil mencapai 6 dari tujuh puncak

Reinhold Messner adalh orang pertama yang berhasil mencapai 6 dari tujuh puncak, akan tetapi hanya merupakan orang ke lima yang berhasil mencapai tujuh puncak. Dia merupakan salah seorang pendaki gunung yang berpengaruh dimasanya dan merupakan seorang arsitek penting dari pendefinisian Tujuh Puncak (The Seven Summits). Pada tahun 1978, bersama dengan pendaki asal Austria yaitu Peter Habeler, orang Italy ini berhasil mendaki Everest tanpa bantuan tabung oksigen. Semua orang terpana dengan hal ini karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Bersamaan dengan Carstensz Pyramid yang berhasil didakinya pada tahun 1971, dia mengklaim dirinya sebagai orang yang berhasil mencapai 6 dari tujuh puncak. Setelah mendaki puncak Carstensz dia juga mendaki Kosciuszko in 1983, hanya untuk memastikan dia mencapai puncak yang tepat untuk 6 puncaknya. Pada tahun yang sama Messner menyatakan bahwa Mont Blanc bukanlah puncak tertinggi di benua Eropah, akan tetapi adalah Elbrus yang lebih tinggi 800 meter. Definisi dia dengan cepat di adopsi oleh pendaki lainnya.

Dari tahun ke tahun, dia membuat beberapa usaha untuk mendaki Vinson Massif dan ketika berhasil dilakukannya pada tahun 1986, akan tetapi tropi peringkat pendakian tujuh puncak sudah diambil oleh pendaki lain.

1971: Carstensz
1974: Aconcagua
1976: McKinley
1978: Everest
1983: kosciuszko
1983: Elbrus
1986: V
inson

1985 – Dick Bass
Orang pertama yang berhasil mencapai tujuh puncak

Dick Bass bukanlah pendaki yang berambisi seeprti Reinhold Messner atau petualang Hardcore seperti Uemura, tapi dia mempunyai ketetapan dan upaya untuk membuat pendakiannya ke Tujuh Puncak bisa menjadi kenyataan. Bas, dan seorang Amerika lainnya yang bernama Frank Wells yang juga membantunya mendefinisikan “The Seven Summits” mereka memasukan Kosciuszko ke dalam jajaran Tujuh Puncak, karena Kosciuszko merupakan puncak dari sebuah daratan yang luas dan tidak seperti Carstensz, yang merupakan puncak dari sebuah pulau. Mereka juga memasukan Vinson Massif di Antartika ke dalam Tujuh Puncak, untuk melengkapi list dari puncak-puncak tujuh benuanya.

Di tahun 1983, Bass dan Wells mendaki enam dari Tujuh Puncak bersama dengan pendaki berpengalaman yang di undang untuk ikut. Kemudian, mereka mencoba melakukan dua kali usaha pendakian ke Everest, tapi karena beberapa alasan mereka gagal melakukannya. Setelah usaha pendakian terakhir itu ke Everest, Wells tidak lagi melakukan usaha untuk pendakian Tujuh Puncak. Sedangkan Dick Bass, bergabung bersama dengan ekspedisi dari Norwegia yang di pimpin oleh seorang Konglomerat perusahaan pengriman Arne Naess pada tahun 1985, dan merupakan orang yang pertama (pada saat itu juga merupakan orang yang tertua yang berhasil mencapai puncak Everest pada usia 55 tahun) yang berhasil mendaki Tuju Puncak.

1983: Aconcagua, McKinley, Kilimanjaro, Elbrus, Vinson Massif, Kosciuszko
1985: Everest

1986 – Pat Morow
Orang pertama yang berhasil mencapai delapan puncak termasuk Carstenz dan Kosciuszko

Dick Bass sangat beruntung merupakan orang yang pertama mencapai tujuh puncak setelah 2 kali percobaan ke Everest. Pat Morrow, Pendaki kuat asal Canada, yang telah mendaki McKinley pada tahun 1977 dan Everest pada tahun 1982. jadi dia juga merupakan orang yang di setting untuk menjadi orang pertama yang mencapai Tujuh Puncak. Karena dia tidak mempunyai sumber keuanganseperti halnya Bass, jadi dia hanya bisa mendaki dua puncak tambahan (Aconcagua dan Kilimanjaro) saat sebelum Bass mencapai Everest. Tapi pada tahun 1986, dengan berhasil mencapai Elbrus, dia menjadi orang yang pertama mencapai Tujuh Puncak dengan Carstenz dan Orang pertama yang berhasil mencapai Delapan Puncak.

1977: McKinley
1981: Aconcagua
1982: Everest
1983: Kilimanjaro, Kosciuszko
1985: Vinson Massif
1986:elbrus, Carstenz

(Sumber; The Canada Summit dan The Seven Summits Book)



(courtesy Wikipedia)

Cho Oyu (or Qowowuyag; in Nepal ????, Tibetan in Wylie transliteration: jo bo dbu yag; Chinese: ????, Pinyin: Zhuó'àoyou Shan) is the sixth highest mountain in the world. Cho Oyu lies in the Himalayas and is 20 km west of Mount Everest, at the border between China and Nepal. Cho Oyu means "Turquoise Goddess" in Tibetan.

Cho Oyu was first attempted in 1952 by an expedition led by Eric Shipton and including Tom Bourdillon, but technical difficulties at an ice cliff above 6,650m (21,820ft) proved beyond their abilities. (Today, these ice cliffs are normally ascended using fixed ropes.) Cho Oyu was first climbed on October 19, 1954 via the northwest ridge by Herbert Tichy, Joseph Jöchler and Sherpa Pasang Dawa Lama of an Austrian expedition. Cho Oyu was the fifth 8000 metre peak to be climbed, after Annapurna in June 1950, Mount Everest in May 1953, Nanga Parbat in July 1953 and K2 in July 1954.

Just a few kilometres west of Cho Oyu is Nangpa La (5,716m/18,753ft), a glaciated pass that serves as the main trading route between the Tibetans and the Khumbu's Sherpas. Due to its proximity to this pass and the generally moderate slopes of the standard northwest ridge route, climbers consider Cho Oyu to be the easiest 8,000 metre peak to climb, and it is a popular objective for professionally guided parties.

  • 1952 First reconnaissance of Northwest face by Edmund Hillary and party.
  • 1954 First ascent by Austrians Joseph Jöchler and Herbert Tichy, and Pasang Dawa Lama (Nepal)
  • 1958 Second ascent of the peak, by an Indian expedition. Sherpa Pasang Dawa Lama reached the peak for the second time. First death on Cho Oyu.
  • 1959 Four members killed in an avalanche during a failed international women's expedition.
  • 1964 Controversial third ascent by a German expedition as there is no proof of reaching the summit. Two mountaineers die of exhaustion in camp 4 at 7,600m (24,935ft).
  • 1978 Edi Koblmüller and Alois Furtner of Austria summit via the extremely difficult southeast face.
  • 1983 Reinhold Messner succeeds on his fourth attempt.
  • 1985 On February 12, Maciej Barbeka and Maciej Pawlikowski make the first winter ascent (repeated three days later by Andrzej Heinrich and Jerzy Kukuczka).
  • 1994 First solo ascent via the South West face by Yasushi Yamanoi.

To The SUMMIT
First I will be climbing Cho Oyu, the 6th highest in the world at 8201m with a team of clients from Adventure Alternative.This will be in April. I have five people on my team plus my co-guide Steve Pinfield and a Sherpa called Pasang Tendi. I then plan to walk to Mt Everest and ascend by the north face and the northeast ridge to the summit, hopefully without any camps on the mountain, but carrying a small tent. I will then attempt to come down the south east ridge to the south col and back to Base Camp in Nepal on the normal route. This traverse will take an estimated 55 to 60 hours and the summit period may be between My 16th and 28th. A substantial issue will be the weather, since clear summit conditions rarely occur on both sides of the mountain at the same time.

There are many unknowns for such an expedition, and I hope to have the stamina to complete it, although I will be carrying a lightweight single-skin tent with a small stove, a bivi bag and some essentials in my rucksack. I believe my previous three expeditions, and the 2005 climb without bottled oxygen in one push from camp 2, will stand me in good stead.

If I cannot manage the traverse then I will come down from the north side and circle round to Nepal by vehicle and climb the mountain by the SE Ridge route. I will have with me a 'shadow', a Nepalese Sherpa called Pasang Tendi who will follow me and help me if I collapse or need assistance. He will be using oxygen but he will not be carrying any of my equipment.

For me, high altitude climbing is about the aesthetic of climbing high with less. Clearly Messner, Scott, Boukreev and Loretan have set high precedents, and I fully concur with them that the purity of movement without the support of siege tactics is preferable. I think it is only possible to truly understand what it means to climb big mountains when you have to make your own decisions and unclip from the fixed line.

Personally I enjoy the feeling of being in a place where mind exists over matter, and success is largely down to the force of one's will power in overcoming physical frailty and fear. There is liberation in it, and not only from being so high that you feel disconnected to the world below. I enjoy the simplicity of life up there, where the decisions and consequences are so clear-cut, and where survival is down to ones own resources as a human being.

Principally, I am doing this to raise money for the charity that I founded called Moving Mountains which is doing very well these days but needs continual support. We have built schools and hospitals and community centres in Kenya, a monastery and hydro-electric project in Nepal, and we support many hundreds of children and their families in deprived circumstances. I've worked and lived in slum areas for much of my adult life so I have strong principles about how to make aid work. I have worked with street kids for so long now, but I have never forgetten that however much I may have helped them, their influence on me has been inspirational.




Some might say mountaineering is rather egotistical and pointless, (other than for the individual concerned) and to some extent I concur. I find nowadays I need a more worthy motivation than the personal ambition of standing on a piece of real estate five miles high in the sky.

If my summit of Everest can assist the hundreds of street kids in Kenya who are being educated and assisted through my charity, and enable funding for the hospitals, schools, orphanages and monasteries that I have built over the years to continue, then I would consider it worthwhile.

Thursday


Kearifan Rumah Panjang
Lagu ini dinyanyikan orang Iban untuk mengawali sampi kena mantap sebuah upacara membersihkan bilek sebagai awal dimulainya musim tanam padi. Renungan yang sangat dalam tentang penghormatan leluhur dan alam.
O, ni kita
Petara aki
Petara ini?
Ti dulu kalia ke dulu nubah,
tanah mungkal menoa tu.
Kita ka dulu berumpang,
besawang
berimba,
ngaga temuda dulu kalia?
Kami tu anak,
telesak,
uchu ambu kita,
Deka bumai dalam memoa tu,
Nganti tulong urat
kita ka dulu menya
Nya alai kita enda tau enda
Ngemata lalu ngintu pengawa ka

Laban kami tu meh uchu
ambu kita,
Darah getah kita,
nampong nerujong,
Ngintu bilik penaik kita.
Nya alai kita enda tau enda
nulomg nukong aku dalam
umai tu.

Pak Payong Sabit dan Ibu Sally mempunyai 9 anak. Empat diantaranya perempuan. Salah seorang putrinya menikah dengan cina dan saat ini menetap di Canada. Sedang kedua putri lainnnya tinggal di Kutching yang salah satunya masih sekolah. Saya bahkan dipersilakan melihat setumpuk album keluarga yang berisi kisah sukses anak-anak Pak Payong.
Bagi suku Dayak, perkawinan antar etnis memang tidak terlalu bermasalah. Bahkan ibu Sally mengatakan sejumlah orang Jawa dan Bandung banyak yang menetap dan membuka usaha di daerah ini dengan menikahi perempuan Dayak. Hanya saja kecendurangan laki2 Dayak untuk menunda pernikahan. Richard guide saya, berjanji menikah jika semua anak perempuan dalam keluarganya bersuami. Ini bukan ketentuan, tapi katanya “hanya sebuah sikap pribadi”. Padahal umurnya diatas 35an.
Bilek Pak Payong terbagi atas beberapa ruang. Yang terdepan sebagai tempat tidur kami ini sangat lapang, hanya terdapat meja sudut yang berisi foto2 dan souvenir dari Canada. Sebuah ruang keluarga dengan TV dan kursi tak jauh dari situ. Barulah dapur dan ruang makan yang mampu menampung 10-15 orang. Di dapur banyak ditemui peralatan modern seperti freezer (bukan kulkas), kompor gas dan alat bantu lainnya. Bercampur dengan blowpipe, senjata buru (biasanya menembak monyet atau burung), alat instrument seperti gitar dan berbagai sertificate pelatihan untuk keselamatan tranportasi sungai.
Malam ini kami dihidangkan nasi beserta lauk pauknya. Disini baru aku tahu bahwa yang kami makan di Miri adalah daun pakis muda. Ditumis hanya dengan bawang putih dan kecap, tapi rasanya ……mantap oiiii. Menurut ibu Sally pakis ini didapatnya dari pinggiran sungai atau sedikit masuk kedalam hutan. Di pasar, katanya bahkan dijual dengan sangat murah. Terakhir sebagai teman ngobrol malam ini : hmmm
rice wine alias tuak . Untuk brewing, membutuhkan paling tidak dua minggu hingga menghasilkan kualitas yang lumayan. Klo mau lebih keras yah simpan aja sampai bertahun-tahun. Rasanya seperti alkohol dari tape ketan yang biasanya dijual di Magelang itu. Mungkin kalah keras dari tape malah. Jadi ngga ngefek sama sekali.
Keesokan harinya kami meninggalkan rumah panjang menuju Nanga Medamit. Sungai Mentawai yang kami lalui ini sudah termasuk hilir dan lumayan lebar. Dari hujan deras kemaren permukaan air masih saja tinggi. Tidak terlalu bergelombang bahkan sangat tenang. Sejam kami lewati sungai legendaris ini dengan kesan yang dalam tentang kampung suku Iban. Hingga tampaklah asap mengepul dari bahan bakar diesel alat2 berat logging. Oooo jadi ini logging. Walau yang ini legal. Sebuah perahu geret yang besar hampir penuh sedang alat berat lainnya untuk memindahkan kayu2 gelondongan dengan cengkeramannya yang kuat.
Nanga Medamit ini lebih tepatnya seperti mini kota. Karena kegiatan logging rame disini, maka muncul pasar yang merupakan arena pertemuan orang Dayaks dan pedagang kota. Ngga heran saya nemu penjual semen ataupun bahan berat lainnya disini. Dan semuanya diangkut dengan perahu !!! Dari sinilah kembali akses lewat jalan. Jalanan trans limbang ini baru dibuka dan setengah beraspal. Jadi kebayang nikmatnya. Lagipula ini hari terakhir, dan timbul rasa asing ketika kembali ke peradaban.




Menapaki jejak lama

Selepas acara di Yogya saya sempatkan jalan-jalan di kaki Merapi. Tadinya saya ingin menyusuri kali Boyong untuk melihat aliran lava Merapi ketika meletus 1994 lalu. Rute hingga Tempuran lantas turun lewat Plawangan hingga Kaliurang. Dari sini untuk melihat proses Merapi menyembuhkan diri dari awan panas dan gempuran lahar. Sebelumnya saya dengan sang pria pendamping Merapi Irfan napak tilas di beberapa rute yang bertahun-tahun tidak saya injak lagi. Sebelumnya saya diajaknya bertemu dengan mbah Maridjan tokoh legendaris Merapi itu. Walau singkat saya merasakan kehangatan masyarakat Merapi. Seperti dulu.
Merapi ternyata nampak hijau kembali. Bekas bukit gundul Turgo sekarang ditumbuhi ilalang dan pepohonan. Lapisan lumut sebagai tanda kehidupan pertama menciptakan karpet putih yang unik. Jika diangkat akan nampak lapisan tanah dibawahnya, menciptakan humus yang subur untuk ditanami apapun. Bekas aliran lahar nampak jelas di sudut kali Boyong yang membentur dinding tebing lantas membelok. Sederetan karung2 berisi pasir yang ditambang penduduk setempat tergeletak disana sini. Rupanya penambangan pasir masih menjadi mata pencaharian sambilan penduduk. Hujan bulan Desember membuat udara makin humid. Beberapa tempat jadi licin, kami kesulitan menemukan jalur turun menyusuri kali Boyong.
Untuk jalan2 kedua kalinya ke kali Kuning. Kali ini kami bersama geologist dan ahli pemetaan. Mereka diajak jalan menyusuri pedesaan Merapi dan beberapa site menarik tentang lapisan batuan didalamnya. Saya juga meminta mereka menentukan grading untuk short walking ini. Dilihat dari tingkat kesulitan, lama perjalanan, hal2 yang menarik selama jalan dan juga kondisi lapangan.
Sangat banyak hal untuk meningkatkan kualitas trekking tour di Merapi. Salah satunya adalah dengan informasi rute dan grading. Rute sangat penting bagi trekker untuk menentukan gradient naik turunnya medan. Rute bisa berupa peta sederhana plus POI. Sedang grading adalah untuk mengukur kemampuan individu dalam melakukan trekking. Hal seperti ini sangat jarang diberikan oleh trekking operator Indonesia. Contoh grading : easy, moderate, atau difficult ; bisa juga dengan grade 1 hingga 5 dengan penjelasannya.
Satu hal lagi adalah perlunya meningkatkan pengetahuan guide trekking. Saat ini guide ibarat hanya penunjuk jalan. Padahal fungsi guide adalah seorang yang bisa memberikan informasi berguna tentang alam dan lingkungan. Pengetahuan seperti nama tanaman dan binatang, kehidupan penduduk lokal, basic geology dan tak lupa pengetahuan dasar navigasi. Untuk menjadi pria pendamping itu bukan perkara mudah.


Sepi Pendaki
Ra sah kewanen jo, mengko nek ana apa-apa seng keno ya aku. Begitu kira-kira kata dia, kawan saya. Dasar keras kepala saya nekat. Saya bilang, lha wong jalannya mulus kok. Ngga ada hidden passage-nya atau tantangan berarti. Ngga ada via-ferrata, ngga ada scrambling2an. Lurus rus. Lagian ini memang bukan untuk mengejar self-praising. Narsis photo-photo di puncak maksud saya. He he he… setelah packing Saya nyegat kendaraan ke Sarangan. Cuma lima rebu saja, diantar ke pertigaan menuju arah Tawangmangu. Saya tahu susah sekali angkot kesana. Kalau enggak hitchhiking atau terpaksa ngetem berjam. Jadi sebaiknya memang sebelum siang nyampe sana.
Saya duduk samping pak sopir. Dari ransel saya ia menebak akan naik gunung Lawu. “Mas koncomu sapa?” tanyanya sopan. Saya jawab kalau akan ketemu teman2 di Cemoro Sewu. Hmm mekanisme self-protection saya bekerja. Terutama kalau sendirian, saya selalu ‘berbohong’ bahwa ada kawan yang saya temui. Lantas kami cerita macam2. Dia juga menwarkan mencarikan guide ke puncak. “Lewat dalan anyar , luweh cepet. Mung 3 jam tekan puncak” katanya meyakinkan saya.
Telung jam gundulmu. Lha iku sikil ngendi Pak, batin saya. Jangan dibandingkan dengan anak2 muda itu. Dengkul tuwo begini, awak cilik ngene. Saya menampik dengan halus. Ia menurunkan saya di pertigaan dekat ticketing. Saya turun dan langsung disambar sopir angkot lain. “Cemoro Sewu Mas?”
Saya mengangguk. “Suwe ora Mas?” tanya saya menyakinkan apakah ia akan ngetem lama. Dia bilang tidak. Oke walau ragu saya langsung masuk. Didalam sudah ada dua orang laki2. Alarm saya langsung berbunyi, tapi saya amati mukanya. Ah mereka baik2 kok. Terlihat dari satu orang yang tersenyum ramah.
Sambil ngetem, ia menyapa saya. Rupanya ia memang mau ke Tawangmangu setelah puter2 Jawa Timur sehabis lebaran. Sendirian, sama seperti saya. Masih muda, sekitar dibawah 25 tahun. Kami ngobrol sambil ia meneruskan merokok. Beginilah kalau di Indonesia, pasti dikelilingi asap.

Cemoro Sewu berawan, berkabut tapi tidak dingin
Saya diturunkan dekat warung, sekitar 5 menit jalan dari pos. Tebakan saya benar. Karena bukan sabtu minggu tidak ada warung yang buka. Saya menuju pos, lapor. Disana ada anak muda berjaga dan seorang ibu menyusui bayi 6 bulan. Yang jaga bertanya dengan siapa saya naik. Dia agak tidak percaya ketika bilang mau naik sendirian. Tapi tampaknya ia sudah biasa dengan banyaknya peziarah nekat. Tapi jelas potongan saya bukan peziarah. Kalau nekatnya mungkin mirip.
Sore itu hujan deras sekali. Sangat deras. Saya bersyukur dalam hati. Biasanya setelah hujan deras sore, cuaca akan cerah paginya. Saya membatalkan naik malam! Saya memilih tidur di ruang recovery, lebih hangat dan ada teve-nya lagi he he. Jadilah malam itu saya habiskan nonton teve. Sore itu sang bapak memasak nasi dan oseng2 tempe dan telor ceplok sebagai hidangan makan malam. Saya diajak makan bareng.
Malam itu saya tidur dengan lelap. Hujan masih turun hingga tengah malam.
Pos Jaga 430 pagi langit cerah sekali. Semburat merah mulai terlihat.
Bergegas saya bersiap. Semua masih tertidur jadi saya ngga bisa pamit. Saya melangkah pelan. Masih gelap di jalanan. Jalur masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Saya berjalan dalam diam. Saya amati betul suasana pagi hari. Burung2 mulai datang, angin bertiup lembut. Hawa dingin terasa di pipi. Langit begitu cerahnya, saya hirup udara pagi. Memenuhi paru-paru. Saya cium aroma hutan.
Langkah kaki saya terayun dengan pasti.