My experiment with GPS did not seem succesful. We had problem with battery supply, e-Trex couldn't pick any signal on the last stage due forest density. We had arranged taxi to pick us up at Senaru and take us to Mangsit -5km outside Senggigi where we found a place to stay. I am now sitting in backyard of Nusa Bunga with direct view to the beach. Today we are going to Gili Trawangan from Bangsal Harbour. Oh yeah with aching legs off course !
Gunung di Indonesia dan Puncak Tertinggi Dunia
Saturday
at 00:29 0 comments
Friday
Sejarah dari "The Seven Summits Quest"
William D. Hackett Orang pertama yang mencapai 5 dari tujuh puncak
William D. Hackett, seorang tentara dari
1947 : McKinley
1949 : Aconcagua
1950 : Kilimanjaro
1956 : Kosciuszko
1956 :
Setelah berhasil mencapai puncak
Diantara tahun 1956 dan 1970, tidak ada tonggak sejarah yang berhasil tercapai. Walaupun, Dolf Reist, seorang pendaki dari Swiss, mencapai puncak Mont Blanc pada tahun 1955 dan puncak Everest tahun 1956 (hanya satu dari enam orang yang berhasil mendaki Everest pada masa itu). Dia pikir bahwa ia mempunyai banyak waktu untuk mendaki puncak yang lain dan oleh karena itu tidak membuat usaha mendesak apapun untuk memanjat 3 puncak lainnya. Dia melengkapi mendaki 3 puncak lainnya ada tahun 1971, enam bulan setelah Naomi Uemura, seorang pendaki asal Jepang yang akan kita bahas selanjutnya.
1970 – Naomi Uemura
Orang pertama yang berhasil mencapai 5 puncak dari tujuh puncak temasuk Everest
Naomi Uemmemulai pendakian sebagai pendaki solo dan mencapai puncak Mont Blanc secara sendirian, Kilimanjaro dan
1966 : Mont Blanc
1966 : Kilimanjaro
1968 :
1970 : Everest
1970 : McKinley
Seperti halnya yang diharapkan oleh seorang petualang soliter sejati, dia kembali merencakan untuk pergi ke Antartika sendirian untuk mendaki
1978 – Reinhold Messner
Orang pertama yang berhasil mencapai 6 dari tujuh puncak
Reinhold Messner adalh orang pertama yang berhasil mencapai 6 dari tujuh puncak, akan tetapi hanya merupakan orang ke
Dari tahun ke tahun, dia membuat beberapa usaha untuk mendaki
1971: Carstensz
1974:
1976: McKinley
1978: Everest
1983: kosciuszko
1983: Elbrus
1986: Vinson
Orang pertama yang berhasil mencapai tujuh puncak
Dick Bass bukanlah pendaki yang berambisi seeprti Reinhold Messner atau petualang Hardcore seperti Uemura, tapi dia mempunyai ketetapan dan upaya untuk membuat pendakiannya ke Tujuh Puncak bisa menjadi kenyataan. Bas, dan seorang Amerika lainnya yang bernama Frank Wells yang juga membantunya mendefinisikan “The Seven Summits” mereka memasukan Kosciuszko ke dalam jajaran Tujuh Puncak, karena Kosciuszko merupakan puncak dari sebuah daratan yang luas dan tidak seperti Carstensz, yang merupakan puncak dari sebuah pulau. Mereka juga memasukan Vinson Massif di Antartika ke dalam Tujuh Puncak, untuk melengkapi list dari puncak-puncak tujuh benuanya.
Di tahun 1983, Bass dan Wells mendaki enam dari Tujuh Puncak bersama dengan pendaki berpengalaman yang di undang untuk ikut. Kemudian, mereka mencoba melakukan dua kali usaha pendakian ke Everest, tapi karena beberapa alasan mereka gagal melakukannya. Setelah usaha pendakian terakhir itu ke Everest, Wells tidak lagi melakukan usaha untuk pendakian Tujuh Puncak. Sedangkan Dick Bass, bergabung bersama dengan ekspedisi dari Norwegia yang di pimpin oleh seorang Konglomerat perusahaan pengriman Arne Naess pada tahun 1985, dan merupakan orang yang pertama (pada saat itu juga merupakan orang yang tertua yang berhasil mencapai puncak Everest pada usia 55 tahun) yang berhasil mendaki Tuju Puncak.
1983: Aconcagua, McKinley, Kilimanjaro, Elbrus,
1985: Everest
1986 – Pat Morow
Orang pertama yang berhasil mencapai delapan puncak termasuk Carstenz dan Kosciuszko
Dick Bass sangat beruntung merupakan orang yang pertama mencapai tujuh puncak setelah 2 kali percobaan ke Everest. Pat Morrow, Pendaki kuat asal
1977: McKinley
1981: Aconcagua
1982: Everest
1983: Kilimanjaro, Kosciuszko
1985:
1986:elbrus, Carstenz
at 10:33 0 comments
Cho Oyu (or Qowowuyag; in Nepal ????, Tibetan in Wylie transliteration: jo bo dbu yag; Chinese: ????, Pinyin: Zhuó'àoyou Shan) is the sixth highest mountain in the world. Cho Oyu lies in the Himalayas and is 20 km west of Mount Everest, at the border between China and Nepal. Cho Oyu means "Turquoise Goddess" in Tibetan.
Cho Oyu was first attempted in 1952 by an expedition led by Eric Shipton and including Tom Bourdillon, but technical difficulties at an ice cliff above 6,650m (21,820ft) proved beyond their abilities. (Today, these ice cliffs are normally ascended using fixed ropes.) Cho Oyu was first climbed on October 19, 1954 via the northwest ridge by Herbert Tichy, Joseph Jöchler and Sherpa Pasang Dawa Lama of an Austrian expedition. Cho Oyu was the fifth 8000 metre peak to be climbed, after Annapurna in June 1950, Mount Everest in May 1953, Nanga Parbat in July 1953 and K2 in July 1954.
Just a few kilometres west of Cho Oyu is Nangpa La (5,716m/18,753ft), a glaciated pass that serves as the main trading route between the Tibetans and the Khumbu's Sherpas. Due to its proximity to this pass and the generally moderate slopes of the standard northwest ridge route, climbers consider Cho Oyu to be the easiest 8,000 metre peak to climb, and it is a popular objective for professionally guided parties.
- 1952 First reconnaissance of Northwest face by Edmund Hillary and party.
- 1954 First ascent by Austrians Joseph Jöchler and Herbert Tichy, and Pasang Dawa Lama (Nepal)
- 1958 Second ascent of the peak, by an Indian expedition. Sherpa Pasang Dawa Lama reached the peak for the second time. First death on Cho Oyu.
- 1959 Four members killed in an avalanche during a failed international women's expedition.
- 1964 Controversial third ascent by a German expedition as there is no proof of reaching the summit. Two mountaineers die of exhaustion in camp 4 at 7,600m (24,935ft).
- 1978 Edi Koblmüller and Alois Furtner of Austria summit via the extremely difficult southeast face.
- 1983 Reinhold Messner succeeds on his fourth attempt.
- 1985 On February 12, Maciej Barbeka and Maciej Pawlikowski make the first winter ascent (repeated three days later by Andrzej Heinrich and Jerzy Kukuczka).
- 1994 First solo ascent via the South West face by Yasushi Yamanoi.
at 05:55 0 comments
There are many unknowns for such an expedition, and I hope to have the stamina to complete it, although I will be carrying a lightweight single-skin tent with a small stove, a bivi bag and some essentials in my rucksack. I believe my previous three expeditions, and the 2005 climb without bottled oxygen in one push from camp 2, will stand me in good stead.
If I cannot manage the traverse then I will come down from the north side and circle round to
Personally I enjoy the feeling of being in a place where mind exists over matter, and success is largely down to the force of one's will power in overcoming physical frailty and fear. There is liberation in it, and not only from being so high that you feel disconnected to the world below. I enjoy the simplicity of life up there, where the decisions and consequences are so clear-cut, and where survival is down to ones own resources as a human being.
Principally, I am doing this to raise money for the charity that I founded called Moving Mountains which is doing very well these days but needs continual support. We have built schools and hospitals and community centres in
at 03:26 0 comments
Some might say mountaineering is rather egotistical and pointless, (other than for the individual concerned) and to some extent I concur. I find nowadays I need a more worthy motivation than the personal ambition of standing on a piece of real estate five miles high in the sky.
If my summit of Everest can assist the hundreds of street kids in Kenya who are being educated and assisted through my charity, and enable funding for the hospitals, schools, orphanages and monasteries that I have built over the years to continue, then I would consider it worthwhile.
at 02:32 0 comments
Thursday
Kearifan Rumah Panjang
Lagu ini dinyanyikan orang Iban untuk mengawali sampi kena mantap sebuah upacara membersihkan bilek sebagai awal dimulainya musim tanam padi. Renungan yang sangat dalam tentang penghormatan leluhur dan alam.
O, ni kita
Petara aki
Petara ini?
Ti dulu kalia ke dulu nubah,
tanah mungkal menoa tu.
Kita ka dulu berumpang,
besawang
berimba,
ngaga temuda dulu kalia?
Kami tu anak,
telesak,
uchu ambu kita,
Deka bumai dalam memoa tu,
Nganti tulong urat
kita ka dulu menya
Nya alai kita enda tau enda
Ngemata lalu ngintu pengawa ka
Laban kami tu meh uchu
ambu kita,
Darah getah kita,
nampong nerujong,
Ngintu bilik penaik kita.
Nya alai kita enda tau enda
nulomg nukong aku dalam
umai tu.
Pak Payong Sabit dan Ibu Sally mempunyai 9 anak. Empat diantaranya perempuan. Salah seorang putrinya menikah dengan cina dan saat ini menetap di
Bagi suku Dayak, perkawinan antar etnis memang tidak terlalu bermasalah. Bahkan ibu Sally mengatakan sejumlah orang Jawa dan
Bilek Pak Payong terbagi atas beberapa ruang. Yang terdepan sebagai tempat tidur kami ini sangat lapang, hanya terdapat meja sudut yang berisi foto2 dan souvenir dari
Malam ini kami dihidangkan nasi beserta lauk pauknya. Disini baru aku tahu bahwa yang kami makan di Miri adalah daun pakis muda. Ditumis hanya dengan bawang putih dan kecap, tapi rasanya ……mantap oiiii. Menurut ibu Sally pakis ini didapatnya dari pinggiran sungai atau sedikit masuk kedalam hutan. Di pasar, katanya bahkan dijual dengan sangat murah. Terakhir sebagai teman ngobrol malam ini : hmmm rice wine alias tuak . Untuk brewing, membutuhkan paling tidak dua minggu hingga menghasilkan kualitas yang lumayan. Klo mau lebih keras yah simpan aja sampai bertahun-tahun. Rasanya seperti alkohol dari tape ketan yang biasanya dijual di Magelang itu. Mungkin kalah keras dari tape malah. Jadi ngga ngefek sama sekali.
Keesokan harinya kami meninggalkan rumah panjang menuju Nanga Medamit. Sungai Mentawai yang kami lalui ini sudah termasuk hilir dan lumayan lebar. Dari hujan deras kemaren permukaan air masih saja tinggi. Tidak terlalu bergelombang bahkan sangat tenang. Sejam kami lewati sungai legendaris ini dengan kesan yang dalam tentang kampung suku Iban. Hingga tampaklah asap mengepul dari bahan bakar diesel alat2 berat logging. Oooo jadi ini logging. Walau yang ini legal. Sebuah perahu geret yang besar hampir penuh sedang alat berat lainnya untuk memindahkan kayu2 gelondongan dengan cengkeramannya yang kuat.
Nanga Medamit ini lebih tepatnya seperti mini
at 05:37 0 comments
Selepas acara di Yogya saya sempatkan jalan-jalan di kaki Merapi. Tadinya saya ingin menyusuri kali Boyong untuk melihat aliran lava Merapi ketika meletus 1994 lalu. Rute hingga Tempuran lantas turun lewat Plawangan hingga Kaliurang. Dari sini untuk melihat proses Merapi menyembuhkan diri dari awan panas dan gempuran lahar. Sebelumnya saya dengan sang pria pendamping Merapi Irfan napak tilas di beberapa rute yang bertahun-tahun tidak saya injak lagi. Sebelumnya saya diajaknya bertemu dengan mbah Maridjan tokoh legendaris Merapi itu. Walau singkat saya merasakan kehangatan masyarakat Merapi. Seperti dulu.
Merapi ternyata nampak hijau kembali. Bekas bukit gundul Turgo sekarang ditumbuhi ilalang dan pepohonan. Lapisan lumut sebagai tanda kehidupan pertama menciptakan karpet putih yang unik. Jika diangkat akan nampak lapisan tanah dibawahnya, menciptakan humus yang subur untuk ditanami apapun. Bekas aliran lahar nampak jelas di sudut kali Boyong yang membentur dinding tebing lantas membelok. Sederetan karung2 berisi pasir yang ditambang penduduk setempat tergeletak disana sini. Rupanya penambangan pasir masih menjadi mata pencaharian sambilan penduduk. Hujan bulan Desember membuat udara makin humid. Beberapa tempat jadi licin, kami kesulitan menemukan jalur turun menyusuri kali Boyong.
Untuk jalan2 kedua kalinya ke kali Kuning. Kali ini kami bersama geologist dan ahli pemetaan. Mereka diajak jalan menyusuri pedesaan Merapi dan beberapa site menarik tentang lapisan batuan didalamnya. Saya juga meminta mereka menentukan grading untuk short walking ini. Dilihat dari tingkat kesulitan, lama perjalanan, hal2 yang menarik selama jalan dan juga kondisi lapangan.
Sangat banyak hal untuk meningkatkan kualitas trekking tour di Merapi. Salah satunya adalah dengan informasi rute dan grading. Rute sangat penting bagi trekker untuk menentukan gradient naik turunnya
Satu hal lagi adalah perlunya meningkatkan pengetahuan guide trekking. Saat ini guide ibarat hanya penunjuk jalan. Padahal fungsi guide adalah seorang yang bisa memberikan informasi berguna tentang alam dan lingkungan. Pengetahuan seperti nama tanaman dan binatang, kehidupan penduduk lokal, basic geology dan tak lupa pengetahuan dasar navigasi. Untuk menjadi pria pendamping itu bukan perkara mudah.
at 05:19 0 comments
Sepi Pendaki
Ra sah kewanen jo, mengko nek ana apa-apa seng keno ya aku. Begitu kira-kira kata dia, kawan saya. Dasar keras kepala saya nekat. Saya bilang, lha wong jalannya mulus kok. Ngga ada hidden passage-nya atau tantangan berarti. Ngga ada via-ferrata, ngga ada scrambling2an. Lurus rus. Lagian ini memang bukan untuk mengejar self-praising. Narsis photo-photo di puncak maksud saya. He he he… setelah packing Saya nyegat kendaraan ke Sarangan. Cuma
Telung jam gundulmu. Lha iku sikil ngendi Pak, batin saya. Jangan dibandingkan dengan anak2 muda itu. Dengkul tuwo begini, awak cilik ngene. Saya menampik dengan halus. Ia menurunkan saya di pertigaan dekat ticketing. Saya turun dan langsung disambar sopir angkot lain. “Cemoro Sewu Mas?”
Saya mengangguk. “Suwe ora Mas?” tanya saya menyakinkan apakah ia akan ngetem lama. Dia bilang tidak. Oke walau ragu saya langsung masuk. Didalam sudah ada dua orang laki2. Alarm saya langsung berbunyi, tapi saya amati mukanya. Ah mereka baik2 kok. Terlihat dari satu orang yang tersenyum ramah.
Sambil ngetem, ia menyapa saya. Rupanya ia memang mau ke Tawangmangu setelah puter2 Jawa Timur sehabis lebaran. Sendirian, sama seperti saya. Masih muda, sekitar dibawah 25 tahun. Kami ngobrol sambil ia meneruskan merokok. Beginilah kalau di
Cemoro Sewu berawan, berkabut tapi tidak dingin
Saya diturunkan dekat warung, sekitar 5 menit jalan dari pos. Tebakan saya benar. Karena bukan sabtu minggu tidak ada warung yang buka. Saya menuju pos, lapor. Disana ada anak muda berjaga dan seorang ibu menyusui bayi 6 bulan. Yang jaga bertanya dengan siapa saya naik. Dia agak tidak percaya ketika bilang mau naik sendirian. Tapi tampaknya ia sudah biasa dengan banyaknya peziarah nekat. Tapi jelas potongan saya bukan peziarah. Kalau nekatnya mungkin mirip.
Sore itu hujan deras sekali. Sangat deras. Saya bersyukur dalam hati. Biasanya setelah hujan deras sore, cuaca akan cerah paginya. Saya membatalkan naik malam! Saya memilih tidur di ruang recovery, lebih hangat dan ada teve-nya lagi he he. Jadilah malam itu saya habiskan nonton teve. Sore itu sang bapak memasak nasi dan oseng2
Malam itu saya tidur dengan lelap. Hujan masih turun hingga tengah malam.
Pos Jaga 430 pagi langit cerah sekali. Semburat merah mulai terlihat.
Bergegas saya bersiap. Semua masih tertidur jadi saya ngga bisa pamit. Saya melangkah pelan. Masih gelap di jalanan. Jalur masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Saya berjalan dalam diam. Saya amati betul suasana pagi hari. Burung2 mulai datang, angin bertiup lembut. Hawa dingin terasa di pipi. Langit begitu cerahnya, saya hirup udara pagi. Memenuhi paru-paru. Saya cium aroma hutan.
Langkah kaki saya terayun dengan pasti.
at 04:28 0 comments